Worldview dalam Sains, Bahasa, dan Agama
Worldview dalam Sains, Bahasa, dan Agama[1]
A.
Pendahuluan
Saat
ini, para ilmuwan berusaha menalar berbagai fenomena sosial, khususnya agar
dapat menjadi sistematis sebagaimana yang berlaku dalam sains dan teknologi.
Segala usaha tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan, pengamatan, bahkan
uji coba. Dari berbagai usaha tersebut, mereka berpendapat bahwa segala hal,
baik sains maupun lainnya terdasari dengan suatu kerangka fikir yang sering
disebut worldview. Suatu kasus di atas hanyalah sedikit hal yang menunjukkan
perbedaan yang berujung pertentangan antar worldview dari cabang keilmuan
tertentu.
Namun,
dewasa ini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata
memunculkan tantangan tersendiri dalam berbagai hal. Segala tindakan manusia
yang menggunakan piranti sains dan teknologi kadang kurang bijaksana. Dari
ketidak bijaksanaan tersebut, muncullah berbagai permasalahan etika yang
terkait langsung dengan rusaknya lingkungan, sosial, dan hal lainnya. Analisa
dan kajian yang mendalam mengenai worldview sangat diperlukan guna melihat
lebih dekat hubungan antar worldview tersebut, serta dapat mencarikan solusi
untuk dapat melakukan elaborasi dalam segala hal guna menyelesaikan problem
tersebut.
Dalam
hal ini, worldview selalu dijadikan tolak ukur dan perspektif dalam meninjau
berbagai distingsi antara sains dan agama. Bahkan pernah dikatakan bahwa
worldview merupakan sistem bahasa yang telah terbentuk sejak kontak pertama
manusia dengan kehidupannya di dunia, tentunya karena pengaruh lingkungannya.
Makalah
singkat ini berusaha menjelaskan beberapa hubungan antara worldview yang
merupakan hasil bentukan dari sistem bahasa serta keberadaan worldview di balik
agama dan sains. Selanjutnya akan dikemukakan mengenai usaha integrasi antara
agama dan sains dalam satu paying worldview. Hal ini tentunya disertai dengan
berbagai kasus dan contoh dari analisa worldview yang ada pada setiap ideologi,
pemikiran, bahkan perkembangan teknologi tersebut.
B.
Pembahasan
Relasi
Worldview dengan Bahasa
Terma
worldview telah melalui banyak pendefinisan oleh para ilmuan, filosof, dan
sebagainya. Edward Sapir (1884-1939) dan gurunya Benjamin lee Whorf (1897-1941)
pertama kali menggunakan istilah Whorf-Sapir Hypothesis yang
menyimpulkan penelitian dari Franz Boas (1858-1942) seorang antropolog yang
meneliti kultur budaya Indian Amerika. Kesimpulan diambil terkait dengan kultur
linguistic-antropologis yang diteliti dengan framework metodologi sains
positivistik yang berhipotesa bahwa adanya relasi antara bahasa dengan fikiran
manusia. Hal ini pernah diungkapkan oleh Humboldt – meski jarang didiskusikan;
bahwa worldview sebagai hal yang fundamental melazimkan terwujudnya pemikiran
manusia mengenai dunia melalui sarana pembentukan fikiran dari fakultas bahasa
yang rumit.[2]
Humboldt
sangat yakin bahwa worldview amat terkait dengan bahasa. Ia berusaha
menjelaskan bahwa konsep worldview adalah proses asimilasi bahasa yang kemudian
membentuk konsepsi mengenai dunia. Worldview digunakan sebagai konsep primer
dalam mengerti perbedaan dan mengklasifikasi berbagai bahasa, kemudian juga
“dunia” yang menghasilkan bahasa tersebut. Dalam memperjelas konsep tersebut,
Humboldt menggunakan terma Weltansicht, bukan weltanschauung.[3]
Selain
Humboldt, Jurgen Trabant dan Naugle juga mengakui perbedaan kedua terma
tersebut. Weltanschauung memiliki makna yang luas sebagai pijakan akal dalam
berfikir individu. Secara filosofis, hal ini terjadi sejak konsep akal
dikembangkan pada zaman Pencerahan [4]
dan semenjak abad ke 20 secara politis, istilah tersebut menjadi sinonim dari
istilah “ideologi”. Sedangkan weltansicht lebih menyebutkan sistem kebahasaan
yang meliputi sudut pandang sempit dan konsepsi dasar mengenai dunia. Kajian
Humboldt yang mendalam mengenai bahasa menunjukkan bahwa sistem linguistik
mempengaruhi pemikiran kultural tertentu, bahkan juga memiliki kontribusi dalam
perkembangan kultur tersebut.[5]
Senada
dengan itu bahwa Thouard, seorang translator dari Prancis juga menyatakan bahwa
weltanschauung mencakup hal yang lebih umum daripada weltansicht. Weltansicht
lebih beroperasi pada tataran fundamental yang mengembangkan kontak pertama
manusia dengan realitas dunianya. Yang mana pada tataran berikutnya,
weltansicht (la langue) menjadi bagian yang membentuk sebuah
weltanschauung (la vision du monde) yang memiliki berbagai perangkat
kepercayaan.[6]
Pemahaman
para sarjana Barat mengenai worldview juga beragam. Thouard berargumen bahwa
kebanyakan sarjana Prancis dan Inggris memahami bahwa bahasa sudah terintegrasi
dalam worldview tanpa adanya distingsi antara keduanya. Sehingga hanya ada
istilah worldview, world image, atau picture of the world dan tidak pernah ada
istilah weltansicht. Para sarjana Czech (Ceko) juga mengadopsi konsep worldview
dalam bentuk demikian, tanpa ada distingsi antara weltansicht dan
weltanschauung.[7]
Whrof
melihat worldview sebagai sistem kebahasaan yang didasari dengan model
tertentu. Ia mengembangkan pendapat Sapir bahwa bahasa menjadi suatu hal
penting yang membentuk model tersebut. Khususnya individu yang berinteraksi
dengan suara, perkataan dan kata-kata. Sapir mengemukakan konsep cluster
(kumpulan) yang menjadi elemen dari sebuah bahasa.[8]
Sedangkan Whorf dengan ketertarikannya kepada keunikan sistem bahasa, akhirnya
mengembangkan terma yang bervariasi antara worldview, weltanschauung,
dan habitual thought.[9]
Whorf
dengan konsepsi ‘sistem bahasa yang unik’ memandu beberapa sarjana kepada
spekulasi metafisik. Boas, seorang peneliti kultural yang mendalami ilmu
linguistik terbantu dengan pekerjaan Whorf mengenai ilmu ketata bahasaan.
Ketatabahasaan (grammar) memberikan dasar dalam memaknai sesuatu dan
menjadikannya sebuah pengalaman. Hal ini juga diungkap oleh Noam Chomsky dengan
adanya sistem lingustik yang produktif sebagaimana Whorf mengungkap bahwa
sistem linguistik yang menjadi formulasi sebuah bahasa yang akan mempengaruhi
aspek psikologi, kultur, bahkan perilaku dan sistem keteraturan.[10]
Namun
meskipun demikian, Whorf baru menyodorkan argument yang terlalu sedikit dalam
memandang hubungan antara perilaku, kultur dan persepsi. Rangkaian argument di
atas hanya sekedar hubungan antara perilaku dan kultur, tidak mencapai
penjelasan pada tahap pengaruh bahasa terhadap persepsi manusia.[11]Sebaliknya,
para filosof yang terdahulu seperti John Locke telah menekankan bahwa suatu
‘kata’ bukan sekedar merupakan hal yang kosong, namun ia berisi konsep berfikir
tertentu.[12]
Dari situlah diskusi Locke mengenai bahasa menghasilkan kesimpulan mengenai
gambaran sebuah bahasa dan penggunaannya dalam menyatakan pengalaman tentang
dunia di sekitar kita.[13]
Whorf
memandang bahasa berdasarkan
posisinya sebagai seorang relativis. Namun setelah melihat berbagai argument
mengenai konsepsi linguistik dan tata bahasa serta relasinya dengan kultur, perilaku,
dan persepsi manusia; hal ini membuat lebih terlihat bahwa ia tidak sedang
mempertahankan ide relativismenya. Ini terbukti dari klaimnya berdasarkan
penelitiannya mengenai suku Hopi dalam konsep linguistiknya dapat mengantarkan
kita kepada realitas kebenaran yang natural. Inilah yang menekankan bahwa ide
relativismenya sangat jauh dari argumen yang relativistic, bahkan statemennya
malah membantah idenya sendiri.[14]
Worldview
dalam Sains dan Agama
Untuk sekedar mengutip dari Hugh Gauch, bahwa pengertian
worldview harus dilihat secara etimologi,[15]
sosiologi,[16] dan
terminologi filsafat.[17]
Worldview dapat disimpulkan sebagai seperangkat kepercayaan, yang menimbulkan
(suatu hal), atau mencakup dasar (kepercayaan) tersebut, yang konsisten sebagai
kerangka guna menjawab pertanyaan seputar worldview.[18]
Berpedoman pada “tujuh karakter sains”-nya,[19]
Gauch menyimpulkan bahwa (1) konten worldview tidak terdapat dalam sains (2) ia
tidak memberikan pandangan penting yang memadai dalam studi kritis sains
mengenai alam.[20]
Secara sekilas bahwa Gauch tidak setuju adanya worldview
di balik sains. Namun jika melihat pada beberapa pilar dari karakter sains
tersebut, bahwa sains merupakan “suatu hal yang terbukti empiris” itu merupakan
suatu metodologi yang diimpor dari suatu ideologi yang menuntut pembuktian
sesuatu secara empiris. Hal tersebut merupakan karakteristik dari suatu
worldview yang menyatakan bahwa “pembuktian empiris merefleksikan sebuat
realitas”.[21]
Gauch juga menyatakan adanya paradoks bahwa sebuah metode
yang didasari suatu worldview akan berkesimpulan pada
karakter worldview tersebut. Meskipun demikian, ia tetaplah menyatakan bahwa sains adalah netral karena didasari dengan metode
ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan sebuah realitas.[22]
Dari sinilah terlihat bahwa Gauchch hanya sekedar menganggap sains sebagai
interogasi terhadap alam lantas kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains
hanya terbatas pada hal yang tampak dalam realitas fisik. Secara epistemologi,
metode sains tersebut termasuk pada ideologi “realisme” [23]
yaitu suatu kepercayaan pada realitas empiris. Tentu, hal tersebut termasuk
sebuah “perangkat kepercayaan” yang merupakan karakteristik sebuah worldview.[24]
Dalam pembicaraan mengenai worldview dan relasinya,
Stephen Pepper memiliki pendapat sendiri. Ia lebih sering menyebut worldview
sebagai “world hypotheses” atau praduga terhadap dunia. Ia berpendapat
bahwa sejak dahulu, para filosof sudah memperdebatkan hal yang serupa dengan
worldview dan world hypotheses. Melihat kisah dan sejarah filsuf Yunani Thales
yang menyatakan bahwa asal segala sesuatu adalah air, Anaximander bahkan
menyatakan bahwa substansi segala sesuatu adalah udara.[25]
Kesemua filsuf tersebut membahas hal-hal yang substansial dan aksiomatis. Yang
terpenting, bahwa Pepper menyimpulkan bahwa kesemua sumber dari – baik
worldview maupun world hypotheses adalah teori “root-metaphor” atau inti yang
majazi.[26]
Pepper mengemukakan adanya suatu karakteristik prinsip
metodologi tertentu yang digunakan untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
sesuatu. Pepper juga menyatakan bahwa suatu world hypotheses memunculkan
beberapa metodologi yang merealisasikan sebuah nilai. Konsekuensi dari itu
mendorong munculnya suatu esensi dari world hypotheses yang tidak bisa
dimasuki oleh konsep world hypotheses lainnya. Karena hal tersebut
merupakan suatu program dalam menjelaskan dan mengerti realitas (world
hypotheses) tersebut.[27]
Berdasarkan kesimpulan tersebut, bahwa pada kurun waktu hingga revolusi sains
abad 17-18, Pepper menyimpulkan adanya scientific worldview yang
melatar-belakangi perkembangan sains tersebut.[28]
Sains-pun
dengan karakternya juga memiliki sebuah sejarah dan revolusi tersendiri. Sains
yang pada saat ini sudah memiliki worldview yang memiliki karakter penting :
(1) studi kritis dan mendalam secara alami terhadap suatu aktivitas ilmiah dan
(2) memiliki metode penjelasan ilmiah tertentu.[29]
Sains dalam sejarahnya mengalami revolusi pada abad ke 16 dan 17. Worldview
sains barulah muncul dan memisahkan diri dari worldview agama dan mitologi.
Revolusi tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan filosofis dan religious, yang
mana agama pada saat itu selalu bertentangan dengan sains.[30]
Usaha
Integrasi antara Agama dan Sains dalam suatu Worldview
Ada beberapa tendensi yang terjadi dalam hubungan antara
pendidikan sains dan pendidikan agama. Sebagian literatur mereduksi sekitar
pertanyaan berikut : “Apakah sains berkonsekuensi menimbulkan worldview dalam
berkeyakinan?” menjadi “Dapatkah sains
membuktikan keberadaan Tuhan?” atau “Dapatkah sains mengatakan kepada kita
bahwa alam semesta ini memiliki tujuan?”. Tentu, hingga saat ini jawaban dari
kedua pertanyaan tersebut adalah negatif, karena selama ini worldview difahami
secara sempit sebagai pandangan mengenai kehidupan dan dunia, bukan pandangan
keagamaan.[31]
Matthew
Orr menyatakan bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin ilmu yang berbeda
dan prosedur operasional yang berbeda. Sebagai contoh bahwa keyakinan mendapat
sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya terbatas pada hal-hal
yang dapat diobservasi secara empiris. Tetapi, sekalipun keduanya tidak dapat
disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun agama dan sains dapat disatukan di
bawah worldview yang sudah tersintesa
(tergabung).[32] Sintesa dari keduanya akan memfasilitasi proses dalam
membimbing masa depan yang beretika bagi manusia. [33] Karena worldview yang mampu menyatukan sains dan agama
haruslah mengandung komponen dari keduanya yang tidak saling bertentangan.[34]
Matthew Orr menawarkan solusi integrasi (sintesa) antara
agama dan sains di bawah satu worldview. Ia menerangkan bahwa adanya dua
komponen penting dalam worldview tersintesa tersebut, yaitu komponen saintifik
(bersifat sains empiris-observatif) dan komponen non-saintifik. Worldview
saintifik mengandung komponen yang dapat difalsifikasi secara terbatas, yaitu
sebagai worldview yang hanya berbasis ide objektifitas yang ditentukan dari
observasi empiris yang hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas. Batasannya
adalah dua alasan : pertama, banyak metode falsifikasi yang tidak dapat
diujicobakan secara cukup karena komponen tidak mengalami penolakan. Kedua,
pencapaian sains adalah terbatas sedangkan moral atau etika – yang membentuk
bagian yang berguna dari worldview sebagian besar darinya tidak dapat
difalsifikasi.[35]
Orr memberikan sebuah ilustrasi dari penelitian mengenai
pengaruh aspek manusia dalam problem perubahan iklim dunia.[36]
Ia menyimpulkan dari hasil penelitian Houghten yang menyatakan bahwa perubahan
iklim yang problematik memiliki beberapa alasan : pertama, aktivitas
individual dengan mobil atau pemanas ruangan meningkatkan emisi karbon. Kedua,
bahwa perubahan iklim merupakan problem global yang membutuhkan penanganan yang
kadang kontradiktif dengan “agenda” negara. Ketiga, sangat tidak mungkin
untuk mengungkap sejauh apa efek buruknya jika dilihat secara saintifik.[37]
Kedua alasan tersebut memiliki beberapa penjelasan
terperinci dari temuan para ilmuan maupun politisi. Berdasarkan penelitian,
pemanasan global terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan.
Limbah dan gas tersebut membubung ke atmosfer dan mengendap lama di sana,
lantas menutupinya sehingga memerangkap panas dari bumi.[38]
Kemungkinan di masa depan nanti, terjadi kenaikan suhu hingga 11 derajat
celsius, dan hal tersebut akan membuat bumi menjadi zona yang berbahaya bagi
manusia.[39] Selain
dari itu, para saintis hanya mampu menjelaskan permasalahan tersebut tanpa
dapat memberikan solusi. Para saintis hanya dapat merekomendasikan kepada
pemerintah dan politisi untuk mencanangkan peraturan dalam menertibkan masyarakat,
sekali lagi ini adalah masalah etika hidup masyarakat. Sulitnya melakukan lobi
terhadap pemerintah dan politisi mengakibatkan agenda mengatasi problem
perubahan iklim ini semakin sulit dilaksanakan. [40]
Para saintis dan agamawan di Amerika pernah mendiskusikan
perlunya integrasi sains dan agama. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang tidak dibatasi dengan moral dan etika, sudah terbukti banyak merugikan
kehidupan manusia. Manusia membutuhkan pedoman berupa nilai moral dalam
perkembangan teknologi tersebut.[41]
Sebuah contoh dari fenomena perubahan iklim dapat dan dianalisa oleh para
saintis, namun solusinya haruslah melihat dari perspektif yang lebih luas,
yaitu secara perilaku manusia dan pendekatan etika. Para saintis menginfokan
permasalahan dengan berdasarkan riset, dan membutuhkan kolaborasi
penyelesaiannya dari nilai moral berupa keyakinan dan ‘tabo’ (sakralisasi) dari
agama.[42]
Orr berpendapat bahwa sains dan agama telah melalui
sejarah perdebatan panjang dalam berbagai bentuknya. Institusi agama lebih
dahulu muncul sebelum adanya sains, dan penemuan yang bersifat saintis selalu
diintimidasi oleh institusi agama pada masa itu. Namun pada saatnya nanti
mungkin akan dapat mengeliminasi berbagai faktor pembatas antara agama dan
sains tersebut. Meskipun menghilangkan berbagai faktor non-empiris pada
institusi agama sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan.[43]
Selain itu, banyak mitos dalam Perjanjian Lama yang terbukti salah secara
saintifik tetap dipaksakan untuk akur antara pemikiran rasional dan tradisi
keagamaan. Sebagaimana pendapat Bishop John Shelby, bahwa tidak akan ada
toleransi terhadap ‘sakit mental’ seseorang yang mendekonstruksi agama, dan
menyembah Tuhan harus seimbang antara akal dengan hati.[44]
Ada beberapa pertanyaan mengenai urgensi dalam
mensintesakan agama dan sains dalam satu worldview. Pertama, apa gunanya
memiliki moral yang baik, namun tidak mengetahui bahaya (dari) alam dan cara
penanggulangannya? kedua, apakah tradisi moral keagamaan yang di luar
saintifik worldview dapat membujuk morang untuk merespon tantangan
kontemporer? ketiga, Apa langkah
positif dalam menyelesaikan problem lingkungan dan sosial jika agama tidak
dijadikan standar obyektif, sedangkan sains tidak mengusahakan penyelesaian
kecuali hanya menyediakan informasi terkait? keempat, dapatkah kedua
perspektif sains dan agama disintesiskan dalam pikiran yang sama di bawah satu
worldview? [45]
James Marsh menyatakan bahwa dalam Kristen terdapat suatu
ciri khusus dalam pemikirannya. Marsh menyatakan adanya komponen nonsaintifik
dalam agama, yakni keyakinan (faith). “Keyakinan didefinisikan sebagai
kepercayaan yang didasari tanpa adanya bukti” yang mana sekarang ini juga
percaya meski dengan fakta yang kontradiktif.[46]
Namun sebaliknya bahwa Bishop Spong menyatakan bahwa “Kita harus menjadi
seorang ‘beriman’ yang jujur, bukan orang yang termabuk dengan ‘candu’ dari
agama”.[47]
Berbagai
kepentingan naturalis – fundamentalis lebih tercermin pada prinsip-prinsip
keagamaan yakni dalam keyakinan dan tabu (pamali). Sebagai contoh, keyakinan
bahwa seorang pribadi yang berbuat sesuatu, tidak akan berpengaruh atau membuat
perubahan pada masyarakat lain yang lebih banyak jumlahnya.[48]
Sebagaimana keyakinan, tabu (pamali) yang sakral sudah sangat terformalisasi di
dalam sejarah tradisi keagamaan yang mana bersifat seperti keyakinan, yaitu
mewujudkan pembaharuan menuju fokus untuk etika yang merupakan tantangan
mendasar dari kehidupan. Karena kadangkala, sains dapat menganalisa problem
namun tanpa dapat menyelesaikan secara langsung.[49]
Penemuan
saintifik memiliki kelemahan dalam mewujudkan tradisi etika, yang mana hal ini
dapat diformalisasikan oleh agama dengan mudah. Dalam satu waktu, sains itu
sendiri juga menciptakan tantangan kepada etika atau norma. Etika seringkali
harus memperbaharui standar perilaku agar relevan dengan penemuan saintifik.
Hal ini juga mungkin dibutuhkan oleh etika dalam merubah pola berfikir yang
religious yang mana menolak hal-hal saintifik yang tidak sesuai dengannya. Dan
hal tersebut membutuhkan elaborasi antara batas-batas worldview ilmiah dan para
sarjana dalam bekerja dalam hal-hal yang telah dapat didefinisikan tersebut.[50]
C.
Kesimpulan
Para ilmuwan yang biasanya bersifat
positifistik, empiris, dan rasionalis, nampaknya harus mengakui adanya suatu
kerangka berfikir (worldview) dalam pola kerja dan metodologi penelitian
mereka. Hal tersebut mulai banyak dibicarakan ketika terjadi banyak pertentangan
antara metode mereka dengan berbagai elemen masyarakat dan pemikiran lainnya.
Bahkan sebagaian besar dari mereka
mulai melakukan kajian yang mendalam mengenai sumber-sumber pembentuk worldview
tersebut. Kajian mereka yang lebih mendalam menyimpulkan bahwa worldview
terdiri atas berbagai elemen, yaitu adat istiadat, tradisi, bahkan yang
terpenting adalah struktur linguistik atau bahasa yang digunakan sebagai alat
komunikasi antar masyarakat tertentu. Dari penelitian tersebut tersimpulkan bahwa
segala sains, teknologi, ideologi dah hal lainnya tidak muncul dari “ruang
hampa” dan bukan juga merupakan sesuatu yang “netral”, seluruhnya sarat akan
muatan yang terderivasi dari adanya worldview tersebut.
Sejalan dengan itu, perkembangan
sains dan pengetahuan yang semakin pesat. Dan sains yang saat ini dikuasai oleh
Barat dengan latar belakang pertentangannya dengan agama, nampaknya menunjukkan
“efek samping” terhadap lingkungan sekitar, bahkan etika dan norma hidup
manusia. Jika berpedoman pada pemaparan mengenai worldview di atas, maka nampak
bahwa problemnya adalah pada tataran worldview sains tersebut yang tidak dapat
“akur” dengan “sekitarnya” (baca: agama, norma, dan etika kemanusiaan).
Walhasil, saat ini terjadi
ketimpangan antara sains Barat yang “menantang” etika bahkan tradisi keagamaan
dengan klaim mereka bahwa sains dapat menyelesaikan problem kemanusiaan tanpa
butuh agama. Dan timpangnya para agamawan yang juga harus mengikuti
perkembangan sains dan penggunaan teknologi dengan konsekuensi “kehilangan”
sebagian tradisi mereka.
Yang terpenting, bahwa saat ini
mereka mulai menyadari bahwa keduanya haruslah diintegrasikan dan disintesakan
di bawah naungan satu worldview yang mampu “meng-akurkan” keduanya. Apalagi
setelah banyaknya kasus pencemaran lingkungan yang hanya mampu dianalisa oleh
para ilmuan, namun tidak dapat terselesaikan karena rusaknya etika para
pengguna teknologi dan sains, bahkan juga regulasi pemerintah yang terdasari
dengan worldview yang dikotomis pragmatis yang hanya memikirkan keuntungan
birokrasinya. Mungkin suatu saat mereka akan menemukan bahwa worldview Islam
sangatlah tepat sebagai “payung” yang mampu menaungi keduanya.
D.
Daftar Pustaka
Gaus HG, Science, Worldview
and Education (2007)
Houghton, J. T. Climate Change
2001: The Scientific Basis: Contribution of Working Group I to the Third
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (New
York : Cambridge University Press, 2001)
Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science,
dalam Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer
Science + Bussiness Media B.V 2007, 729-745
Marsh, James, Preface to Samuel Taylor Coleridge’s Aids to Reflection,
(New York : Gould Newman, 1840)
Orr,
Matthew, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay
of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and Science,
Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006
Underhill,
James W. Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh
University Press, 2009)
Whorf,
Benjamin lee, The Relation of Habitual Thought and Behaviour to Language,
1984
Whorf,
Benjamin lee, A Lingustic Consederation of the Primitive Communities,
1984
Yolton,
John W. The Locke Reader: Selections from the Works of John Locke with a
General Introduction and Commentary (Cambridge : Cambridge University
Press, 1977)
[1] makalah ditulis oleh Muhammad
Taqiyuddin untuk tugas kuliah bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phill
[2] dikutip dari Humboldt yaitu “worldview
as the fundamental and necessary processing of the world by the mind through
the faculty of language.” dalam buku : James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) p.
14-15
[3] James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) p.
16
[4] Ibid … p. 16
[5] James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language… p. 16
[6] Ibid … p. 18
[7] Ibid … p. 19
[8] Ibid … p. 33
[9] sebagaimana dikutip dari Whorf
bahwa “By ‘habitual thought’ and ‘thought world’ I mean more than simply
language, i.e. than the linguistic patterns themselves. I include all the
analogical and suggestive value of the
patterns (e.g., our ‘imaginary space’ andits distant implications), and all the
give-and-take between language and the culture as a whole, where in is a vast
amount that is not linguistic but yet shows the shaping influence of language.
In brief, this ‘thought world’ is the microcosm that each man carries about
within himself himself, by which he measures and understands what he can of the
macrocosm” dalam James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language…
p. 36 lihat juga Whorf, The Relation of Habitual Thought and Behaviour to
Language, 1984, p. 138
[10] sebagaimana dikutip dari Whorf
bahwa “The very essence of linguistics is the quest for meaning, and, as the
science refines its procedure, it inevitably becomes, as a matter of this
quest, more psychological and cultural, while retaining that almost
mathematical precision of statement which it gets from the highly systematic
nature of the linguistic realm of fact.” dalam James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language… p. 39 lihat juga Whorf, A Lingustic
Consederation of the Primitive Communities, 1984, p. 79
[11] James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language… p. 41
[12] Sebagaimana dikutip dari John
Locke bahwa “Words, in their primary or immediate signification, stand for
nothing but, the ideas in the mind of him that uses them” dalam James W.
Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 41 lihat juga John W.
Yolton, The Locke Reader: Selections from the Works of John Locke with a
General Introduction and Commentary (Cambridge : Cambridge University
Press, 1977) p. 259
[13] James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language… p. 42
[14] James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language… p. 43
[15] Pandangan
Gaus tentang pengertian worldview secara etimologi bahwa “The New Oxford
American Dictionary defines the term “worldview” as ‘a particular philosophy of
life or conception of the world’ (“worldview n.”)” dalam tulisan Gurol
Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal
Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness
Media B.V 2007, 729-745, p. 82
[16] Pandangan
Gaus tentang pengertian worldview secara sosiologi bahwa “According to the
Dictionary of the Social Sciences, ‘from German Weltanschauung, worldview
refers to the total system of values and beliefs that characterize a given
culture or group’. dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and
their relation to science, ... p. 82
[17] Pandangan
Gaus tentang pengertian worldview secara filosofis bahwa “The Cambridge
Dictionary of Philosophy defines it is ‘an overall perspective on life that
sums up what we know about the world, how we evaluate it emotionally, and how
we respond to it volitionally’ dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola,
Worldview and their relation to science, ... , p. 82
[18] Pertanyaan
seputar worldview : (1) what sorts of things exist in the universe? (2) is the
universe created by an intelligent Being? If so , what are the Being’s
properties and if not, what account can be given of creation? (3) what is the
structure of reality? (4) do humans have a nature or essence? (5) ho should we
live our lives? (6) what is good and bad, right and wrong? (7) what is the best
form of government? (8) is there a
purpose to life in general, or to the universe as a whole? (9) is there life
after death? since one of the most important functions of worldviews is to make
sense of life and the world, worldview also ask (10) how should we go about
answering these questions? dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview
and their relation to science, ... , p. 83
[19] Gaus membuat
daftar tujuh pilar mengenai karakteristik sains yaitu : (1) Nyata (2)
Berdasarkan Hipotesis (3) Terbukti Empiris (4) Logis (5) Memiliki penjelasan
yang terbatas (6) Universal, berlaku untuk semua golongan (7) membentuk
worldview. dikutip dari tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and
their relation to science, ... , p. 83 lihat juga Gaus HG, Science, Worldview
and Education (2007)
[22] dikutip dari Gausch “It may
seem paradoxical or surprising that a worldview-independent method could yield
worldview distinctive conclusion. But of course, only a method that did not
presuppose or favor a particular outcome could yield a conclusion worthly of
consideration. A worldview-independent method applied to worldview-informative
evidence can reach worldview-distinctive conclusions. The action is in the
evidence. The evidence reflects reality” dalam Gurol Irzik
and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90
[23] diperjelas dalam makalah
tersebut bahwa “realism belongs to a group of worldview beliefs that may be
called philosophical. This is not to say that only philosopiscal worldview
include it. Obviously, it can also be a part of other worldviews such as
political worldviews. Realism is a worldview belief, which is at odds with
philosophical worldview such as idealism or phenomenalism. It will also clash
with a religious worldview that takes the physical world not as real, but as an
illusory reflection of a deeper, non-physical reality.” dalam Gurol
Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 89
[32] Orr
menyatakan mendefinisikan worldview berdasarkan The American Heritage
dictionary tahun 2000 yaitu “(1) The overall perspective from which one sees
and interprets the world. (2) A collection of beliefs about life and the
universe held by an individual or a group” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview,
and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion? dalam Zygon:
Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board
of Zygon, Chicago, 2006, p. 437
[33] sebagaimana dikutip dari Matthew
Orr bahwa “Unlike evolutionary genetics, religion and science constitute
entirely different displines with operating procedures. Faith, for instance,
has little place in science, and religion need to be limited to what is
empirically observable. But even through they cannot be united as a single
discipline, religion and science can be united under a single synthetic
worldview. Their synthesis will facilitate progress in guiding the ethical
future of humankind.” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview,
and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 437
[34] Matthew Orr, What is A
Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?...
p. 437
[36] penelitian
yang dilakukan oleh J. T. Houghton, ditulis dalam buku J. T. Houghton, Climate
Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working Group I to the Third
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (New
York : Cambridge University Press, 2001)
[37] Matthew Orr, What is A
Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?...
p. 437-478 lihat juga J. T. Houghton, Climate Change 2001:
The Scientific Basis: Contribution of Working ... p. 77-79
[38] berdasarkan
penelitian Philander mengenai pemanasan global dalam S. George Philander, Is
the Temperature Rising? The Uncertain Science of Global Warming (Priceton :
Princeton University Press,2000) dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How
Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 439
[39] berdasarkan
penelitian Hopkin. M mengenai perubahaan iklim dalam M. Hopkin, Biggest Ever
Climate Simulation Warms Temperature May Rise 11 C dalam Nature Online www.nature.com 26 Januari 2005. dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific
Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 439
[40] sebagaimana
ditulis J Sawin, Long Range Forecast, dalam World Watch Magazine March-April,
2003, p. 10-15 dikutip dari Matthew
Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of
Science and Religion?...
p. 439
[41] disimpulkan
dan dikutip dari aslinya “The Joint Appeal by Religion and Science for the
Environment, signed by over one number hundred scientist and theologians,
states : “What good is all the data in the world without a steadfast moral
compass?.... Insofar as our [enviromental] peril arises from a neglect of moral
values... religion has an essential role to play”. This statement recognizes
the need for a more synthetic perspective in addressing environmental problems.”
dalam D. Ackerman, Declaration of the “Mission to Washington” : The Joint
Appeal by Religion and Science for the Environment, 1992 dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific
Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 440
[42] Matthew Orr, What is A
Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?...
p. 440
[44] sebagaimana
dikutip dari Bishop John Shelby Spong bahwa “We are not able to endure the
mental lobotomy that one suspects is the fate of those who project themselves
as the unqestioning religious citizens of our age” and “God must be worshiped
with the mind as well as the heart...” dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific
Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 441
[45] adalah
beberapa pertanyaan dari The Joint Appeal by Religion and Science for the
Environment, yaitu “What good are the most fervent moral imperatives if we
do not understand the dangers and how to avoid them?,.. Can a moral tradition
from outside a scientific worldview persuade people to respond to contemporary
problems? ... What kind of positive movement away from not only our environmental problems but also
other problems will occur as long as religion is not held to the highest
objective standars, and so long as science does not strive to see that the
information it produces is put to positive ends?” dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific
Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 442
[46] sebagaimana
dikutip dari James Marsh dari Matthew
Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of
Science and Religion?...
p. 442 lihat juga James Marsh, Preface to Samuel Taylor
Coleridge’s Aids to Reflection, (New York : Gould Newman, 1840).
[47] Sebagaimana dikutip dari Bishop
Spong: “Many of us can continue to be belivers only if we are able to be
honest belivers. We want to be people of faith, not people drugged on the
narcotic of religion.” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview,
and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 442
[48] Jane Goodall menyebutnya sebagai
fenomena “just me-ism” sebagaimana dikutip: “My real fear is that we’ve
become apathetic because of what I call ‘just me-ism’. I mean, I’m one person,
there’s millions of people out there. So, what little I can do cant possibly
make any difference, It’s just me”. dalam Matthew Orr, What is A Scientific
Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 443 lihat juga Jane Goodall, So
Like Us: My Life with chimpanzees. Speech to the Common wealth Club of San
Francisco, 1997.
[49] Matthew Orr, What is A
Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?...
p. 443
[50] Matthew Orr, What is A
Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?...
p. 444
Komentar
Posting Komentar